RENUNGAN WARTA GEREJA GKJ KLATEN MINGGU, 13 JULI 2025

KASIH BAGI SESAMA

33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 36  Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” 37  Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!” ( Lukas 10:33,-36-37).

“ Salama sejahtera dari Tuhan Yesus bagi saudara sekalian “

              Sangat unik pertanyaan yang terdapat didalam percakapan Injil (Lukas 10: 25-37) antara seorang ahli Taurat dengan Tuhan Yesus; dimana seorang ahli Taurat ini menanyakan kepada Yesus: “ Siapakah sesamaku manusia ?” (Luk 10:29). Jadi sedemikian tertutup mata hati dan jasmani orang ini terhadap kehidupan nyata yang sangat kasat mata, bahkan bisa dirasakan dengan segenap mata batin, dan mata jiwa sebagai manusia tentang segala yang ada di sekitarnya. Karena sedemikian ini, maka orang ini sampai tidak mengerti siapakah sesamaku manusia ?

              Arti siapa yang menjadi sesamaku manusia itu, merupakan sikap kepedulian dan penerimaan sejajar, dari yang ada disekitar hidup ini; siapa yang saudra tempatkan setara/sejajar dan saudara beri ruang penerimaan yang utuh sebagai sesama manuisa. Sikap bisa menerima dan menempatkan sejajar siapapun didalam dirinya ini, akan berpengaruh terhadap relasi orang tersebut, komunikasi batinnya, dan bahkan perilaku sosialnya dengan subyek yang diterima dan ditempatkan sejajar terhadap dirinya. Jadi kalau manusia disekitar kita itu kita anggap sebagai subyek yang lebih rendah dari diri kita, maka akan dengan mudah kita merendahkan mereka; sebaliknya kalau kita tempatkan dan terima sejajar dengan keberadaan kita maka kita pun akan menghargai dan menghormati mereka sebobot dengan penghargaan terhadap diri kita sendiri. Tuhan Yesus dengan sangat bijaksana menyodorkan perumpamaan untuk mencelikkan mata batin ahli Taurat ini, dari kebutaan melihat manusia disekitarnya sebagai sesamaku manusia. Kemampuan melihat ini bukan ditentukan dari status kerohanian seseorang : orang lewi ataupun Imam; ternyata ketika diperhadapkan dengan keprihatinan sesama manusia didepan matanya, kerohanian mereka tidak mampu membuka martabat mereka. Imam dan orang Lewi golongan rohaniawan yang sangat saleh dan paham Hukum agama ini justru buta mata batinnya untuk  melihat sesamaku manusia yang sedang dalam penderitaan dan keprihatinan. Tetapi orang Farisi yang dianggap tak bertatanan hidup agama ini; malah mampu melihat dengan hati nurani yang penuh belaskasihan saat diperjumpakan dengan keprihatin orang lain, namun menerima dan menempatkan pendertiaan orang lain itu adalah keprihatinan hatinya juga.

              Dengan perumpamaan ini, kita semua diingatkan dan diajak untuk mengasah mata batin, rohani, dan manusiawi kita; supaya selalu melek bahwa sesamaku manusia itu letaknya bukan jauh namun selalu ada disekitar kita. Yaitu mereka yang haus dan dahaga, teraniaya, terhimpit masalah, dan yang mengalami keterpurukan hidup di dunia. Sesamaku manusia itu bukan hanya orang yang hadir membanggakan diri kita, memberi dan melimpahi kita dengan harta, membuat hati kita selalu baik-baik saja dan banyak menguntungkan kita. BUKAN itu sesamaku manusia….tetapi semua orang yang justru perlu kita tolong, kasihi, dan pihaki karena pergumulan berat yang membuat mereka tidak berdaya menolong dirinya sendiri, apalagi tidak berdaya memberi-memberi kepeda saudara….dialah sesamaku manusia yang perlu mendapat penerimaan sejajar dan setulus cinta kasih dari hati ini. Cintailah….sesamaku manusia. AMIEN. [sp].