TUHAN…JANGAN LAMPAUI HAMBA
(Kejadian 18:2,3)
2 Ketika ia mengangkat mukanya, ia melihat tiga orang berdiri di depannya. Sesudah dilihatnya mereka, ia berlari dari pintu kemahnya menyongsong mereka, lalu sujudlah ia sampai ke tanah, 3 serta berkata:”Tuanku, jika aku telah mendapat kasih tuanku, janganlah kiranya lampaui hambamu ini.
“ Salam sejahtera, damai dan berkat mulia dari Tuhan Yesus bagi saudara sekalian…”
Ada kerendahan hati yang begitu mendalam, di saat Abraham berseru: “Tuhan, jika aku mendapat kasih karunia di hadapan-Mu, janganlah kiranya Engkau melewati hamba-Mu ini.” (Kejadian 18:3). Ini bukan sekadar sapaan sopan; ini adalah ungkapan kerinduan dan kesadaran bahwa hadirat Tuhan adalah segalanya. Abraham tahu bahwa saat Tuhan hadir, ada janji, ada penggenapan, ada kehidupan. Maka, ia menyambut Tuhan dengan kasih dan penghormatan, bukan karena ia layak, tapi karena ia percaya akan kasih setia-Nya. Dari peristiwa ini kita belajar bahwa Tuhan tidak akan melampaui siapa pun yang membuka pintu hati dan bersedia menyambut Dia, bahkan ketika logika manusia berkata mustahil—seperti Sara yang sudah lanjut usia, tetapi dijanjikan seorang anak.
Perjumpaan Abraham dengan para utusan Tuhan menemukan gema rohaninya dalam kisah Maria dan Marta di Lukas 10:38–42. Marta sibuk dengan pelayanan lahiriah, namun Maria memilih duduk di kaki Yesus, menyerap firman-Nya. Ini bukan berarti pelayanan praktis tidak penting, melainkan menegaskan bahwa hadirat Tuhan harus selalu menjadi yang utama. Ketika Tuhan hadir, respons pertama kita bukan sibuk mengatur, tapi diam dan menyimak. Jangan sampai kesibukan pelayanan membuat kita secara tidak sadar “melampaui atau melewatkan” hadirat-Nya. Maria memilih bagian terbaik—bersekutu dengan Sang Firman—dan itulah yang tidak akan diambil darinya. Begitu pula Abraham, ia tak ingin Tuhan melangkah pergi tanpa sempat dia alami dan layani dengan sepenuh hati.
Dalam dunia yang semakin tergesa-gesa, bising, dan sibuk ini; renungan ini mengajak kita untuk kembali memperhatikan kehadiran Tuhan dalam keseharian kita. Apakah kita masih punya waktu untuk duduk diam mendengar-Nya? Apakah kita sungguh menyambut-Nya ketika Ia datang dalam ibadah, dalam doa, dalam pergumulan hidup yang dialami sesama? Atau justru kita terlalu sibuk dengan urusan kita sendiri, hingga Tuhan “melampaui atau melwati” kita tanpa kita sadari? Mari seperti Abraham dan Maria, kita berseru dan bertindak: “Tuhan, jangan lampaui hamba-Mu!” Biarlah seruan ini menjadi kerinduan hati umat Tuhan di masa kini—umat yang rindu hadirat-Nya lebih dari segala sesuatu, karena hanya di dalam hadirat-Nya ada pengharapan, kekuatan, dan pemulihan sejati. AMIEN. [sp].